Mendekati akhir bulan September, kesibukan mempersiapkan pernikahan semakin terasa. Setelah menunda beberapa kali, akhirnya kemarin aku dan Mama menyempatkan diri mengunjungi perias manten yang memang sudah dipesan.
Kami memilih Salon Kartini yang terletak di Jl. Taman Siswa. Selain karena kualitasnya memang bagus dan terpercaya, kebetulan Bu Lies Adang juga teman Mama.
Kedatangan ke perias kugunakan untuk mengisi kekosongan-kekosongan bayangan yang aku miliki. Dulunya sih, kita ingin mengerjakan itu semua sendiri.
Kami memilih Salon Kartini yang terletak di Jl. Taman Siswa. Selain karena kualitasnya memang bagus dan terpercaya, kebetulan Bu Lies Adang juga teman Mama.
Kedatangan ke perias kugunakan untuk mengisi kekosongan-kekosongan bayangan yang aku miliki. Dulunya sih, kita ingin mengerjakan itu semua sendiri.
Tapi setelah aku bekerja kantoran dan waktu luang yang ada ternyata sedikit sekali, serta melihat banyaknya pernak-pernik yang harus diurus untuk kelengkapan upacara adat, mulailah semangat independenku menurun. Pakai tanjakan pula.
Jadi, karena itu, rencananya kami ingin pasrah bongkokan pada perias untuk menyiapkan segala perihal upacara adat, di luar merias itu sendiri.
Maka siraman, midodareni, dekorasi kamar pengantin, hingga dekorasi ijab dan resepsi ditangani oleh perias. Itu termasuk rias dan seragam panitia sewaan.
Awalnya bingung juga memilih paes untuk saat resepsi. Paes ageng basahan, jelas. Tapi basahan Jogja atau Solo?
"Kalau Solo lebih sederhana, tapi ada warna ungu. Kalau Jogja lebih 'wah', tapi warnanya terbatas. Nggak ada itu warna ungu untuk basahan Jogja," ujar Bu Lies menjelaskan.
Hm... mungkin karena adat Jogja yang memang lebih tradisional dan pakemnya kuat. Setahuku, adat Solo lebih leluasa karena dulunya kraton Solo lebih terbuka pada pengaruh Belanda.
Karena itulah inovasi demi inovasi dalam hal budaya yang pada saat itu terasa 'out of the box' banyak datang dari kraton Solo. Makanya, lantas ada paes ageng basahan bernuansa warna ungu.
Berbeda dengan kraton Jogja yang tertutup. Paes ageng basahan Jogja hanya terbatas pada beberapa warna. Yang kemarin sempat aku catat hanyalah warna hijau, biru, dan emas.
Setelah membandingkan foto contoh yang ada (yup, memang paes ageng basahan Jogja tampak lebih anggun), aku pun memutuskan untuk menikah dengan adat paes ageng basahan Jogja, warna emas.
"Nanti warna ungunya untuk di dalam saja," tambah Bu Lies.
Baiklah. Lalu kami membahas untuk siraman dan midodareni. Dan menetapkan warna hijau untuk kedua acara tersebut. Termasuk dekorasi kamar pengantinnya.
"Karena kamarku sudah terlanjur banyak warna hijaunya," ujarku dulu saat ditanya kenapa memilih warna hijau.
Akad nikah sendiri tidak terlalu banyak dibahas. Sepertinya karena susunan acaranya lebih sederhana sehingga lebih sedikit hal-hal yang perlu diperhatikan. Fokusnya sendiri juga pada KUA-nya.
Untuk seragam sewaan, tak terkendala masalah. Semua pasrah. Hanya saja, Bu Lies memintaku untuk segera kembali ke sana sembari mengantarkan potongan-potongan kain kebaya seragam panitia, kain kebaya ibu pengantin, dan kain-kain lain yang membutuhkan pasangan beskap/surjan.
Ketika aku merasa sudah tidak ada pertanyaan lagi, kami pamit pulang. Eh, sampai di rumah aku baru teringat untuk bertanya pada Bu Lies, apakah alisku nanti harus dikerok? Kalau boleh, aku tidak ingin alisku dikerok, Bu Lies... :(
Jadi, karena itu, rencananya kami ingin pasrah bongkokan pada perias untuk menyiapkan segala perihal upacara adat, di luar merias itu sendiri.
Maka siraman, midodareni, dekorasi kamar pengantin, hingga dekorasi ijab dan resepsi ditangani oleh perias. Itu termasuk rias dan seragam panitia sewaan.
Awalnya bingung juga memilih paes untuk saat resepsi. Paes ageng basahan, jelas. Tapi basahan Jogja atau Solo?
"Kalau Solo lebih sederhana, tapi ada warna ungu. Kalau Jogja lebih 'wah', tapi warnanya terbatas. Nggak ada itu warna ungu untuk basahan Jogja," ujar Bu Lies menjelaskan.
Hm... mungkin karena adat Jogja yang memang lebih tradisional dan pakemnya kuat. Setahuku, adat Solo lebih leluasa karena dulunya kraton Solo lebih terbuka pada pengaruh Belanda.
Karena itulah inovasi demi inovasi dalam hal budaya yang pada saat itu terasa 'out of the box' banyak datang dari kraton Solo. Makanya, lantas ada paes ageng basahan bernuansa warna ungu.
Berbeda dengan kraton Jogja yang tertutup. Paes ageng basahan Jogja hanya terbatas pada beberapa warna. Yang kemarin sempat aku catat hanyalah warna hijau, biru, dan emas.
Setelah membandingkan foto contoh yang ada (yup, memang paes ageng basahan Jogja tampak lebih anggun), aku pun memutuskan untuk menikah dengan adat paes ageng basahan Jogja, warna emas.
"Nanti warna ungunya untuk di dalam saja," tambah Bu Lies.
Baiklah. Lalu kami membahas untuk siraman dan midodareni. Dan menetapkan warna hijau untuk kedua acara tersebut. Termasuk dekorasi kamar pengantinnya.
"Karena kamarku sudah terlanjur banyak warna hijaunya," ujarku dulu saat ditanya kenapa memilih warna hijau.
Akad nikah sendiri tidak terlalu banyak dibahas. Sepertinya karena susunan acaranya lebih sederhana sehingga lebih sedikit hal-hal yang perlu diperhatikan. Fokusnya sendiri juga pada KUA-nya.
Untuk seragam sewaan, tak terkendala masalah. Semua pasrah. Hanya saja, Bu Lies memintaku untuk segera kembali ke sana sembari mengantarkan potongan-potongan kain kebaya seragam panitia, kain kebaya ibu pengantin, dan kain-kain lain yang membutuhkan pasangan beskap/surjan.
Ketika aku merasa sudah tidak ada pertanyaan lagi, kami pamit pulang. Eh, sampai di rumah aku baru teringat untuk bertanya pada Bu Lies, apakah alisku nanti harus dikerok? Kalau boleh, aku tidak ingin alisku dikerok, Bu Lies... :(
-indie-
* Foto diambil dari sini.
No comments:
Post a Comment