Dear...

Daisypath Wedding tickers

Monday, August 23, 2010

Sweating the Small Stuffs


Beberapa hari ini aku sibuk membaca blog-blog para lesbian. Ya-ya-ya. Beberapa orang sempat menanyakan alasanku, bahkan Arya takut aku berubah menjadi lesbi.

Tidak, Sayang. Tidak akan. Aku masih mencintai kamu sebagai laki-laki kok. 

Anyway, kalau pun aku membaca blog-blog itu, itu bukan berarti aku ingin menjadi lesbian atau apa, aku hanya penasaran. Rasa penasaranku ini sepertinya sama dengan rasa penasaran yang dimiliki kebanyakan orang straight:

Bagaimana bisa seseorang mencintai sesama jenisnya? Apa yang dirasakan?



Ya karena cinta. Ya merasakan cinta.

Okelah. Tapi, sejujurnya, aku berharap menemukan jawaban yang 'berbeda'. Meski ternyata tidak ada jawaban yang berbeda itu.

Kesimpulan yang kudapatkan hanya sebatas - yah - karena mereka cinta. Jawabannya akan sama ketika aku ditanya apa yang membuatku mencintai laki-laki.

Tidak puas sebenarnya, membaca jawaban tersebut. 

Tapi terlepas dari itu semua, selama aku membaca beberapa blog yang sempat aku kunjungi ini, aku justru menemukan sesuatu yang 'berbeda'. Sebuah pandangan baru yang menyadarkanku.

Dari blog-blog tersebut, aku belajar bersyukur atas perasaan cinta yang aku miliki.

Karena aku straight, dan aku bisa dengan bebas menunjukkan perasaanku dalam batas-batas tertentu dan tidak dianggap 'aneh' oleh lingkunganku. Karena aku bisa melanjutkan hubunganku hingga resmi nantinya, dan membangun keluarga bersama. Karena aku mendapatkan restu dari lingkungan dekatku, sehingga aku tidak perlu berbohong pada siapa pun yang aku sayangi.

Memang, selama ini aku melihat bahwa sebuah hubungan pada titik tertentu akan terasa seperti 'taken for granted'.

"Sudah seharusnya dia menjemputku, karena dia pacarku," salah satu contoh.

"Sudah seharusnya dia membawakan tasku, karena tasku berat," contoh lain.

Atau, "Sudah seharusnya kita menonton film kartun, karena kita memang suka menonton film kartun."

Padahal tidak seharusnya seperti itu. Dalam salah satu blog yang aku baca, aku membaca rasa syukur atas hal-hal kecil yang bisa mereka rasakan dalam hubungan mereka.

Entah mungkin karena hubungan mereka masih sering tersandung oleh norma-norma sosial yang ada, atau entah karena apa, kedua penulisnya selalu mengutarakan 'pemujaannya' terhadap hubungan yang sedang mereka jalani. Sampai ke hal-hal kecil yang kadang aku melihatnya biasa di dunia straight-ku ini.

Mereka bercerita seolah-olah hubungan mereka kuat, sekaligus rapuh. Hubungan mereka tetap bisa berakhir kapan saja.

Hal-hal kecil inilah yang membuatku mengingat kembali hubunganku dengan Arya selama ini. Segala sikap-perilaku-perkataan-pemikirannya.

Bujukannya setiap aku merajuk atau kumat manjanya. Bantuannya setiap saat bila aku mengeluh sedikit saja. Caranya makan yang kadang klomprot dan muka tak bersalahnya - menjengkelkan, tapi tak pernah bisa membuatku marah. Perhatiannya pada keluargaku. Dan segalanya.

Hal-hal kecil yang sebenarnya terasa manis, asalkan aku tidak langsung menelannya bulat-bulat.

Toh pada akhirnya, tidak ada yang kekal di dunia ini, bukan?

Seperti kata Gilbert K. Chesterton di sebelah kanan, mengingat bahwa ini semua dapat hilang setiap saat, membuatku semakin mencintainya. Sekaligus takut kehilangannya.



-indie-

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...