Melihat gedung tinggi yang baru dibangun tanpa tempat parkir memadai, Arya mengomel.
"Ini-itu-ini-itu...bla-bla-bla..."
Memang menyebalkan. Gedung itu dibangun di sisi jalan yang setiap sore sudah menimbulkan kemacetan. Apalagi bila ditambah dengan gedung tanpa tempat parkir seperti itu.
Ujung-ujungnya, Arya menyebut nama Eyang Ot yang aku agak lupa apa hubungannya. Dia baru akan mulai menceritakan kisahnya, ketika kemudian memilih menjelaskan posisi Eyang Ot dalam keluarganya terlebih dahulu padaku.
Keputusan yang tepat sebenarnya, karena ingatanku dalam sejarah agak lemah.
"Eyang Ot itu adiknya ibu dari Bapak," ujarnya tanpa melihatku karena sedang menyupir. Pandangannya terpaku ke jalan raya.
Hm-hm. Aku menimpali dengan gumaman sambil membenahi rambutku dan berkaca pada jendela mobil di sisi kiriku.
"Adiknya Uti," tambah Arya. "Eyang Ot itu bla-bla-bla-bla..." Ia mulai menjelaskan.
Aku masih sibuk dengan poniku yang mengeriting dan susah diatur karena sudah beberapa hari tidak dicatok. Berkelak-keluk seperti keris. Ah... menyebalkan. Aku jadi berpikir untuk membeli bando secepatnya.
"Sayaaaaang!" Tiba-tiba Arya memanggilku.
"Apaaaaa?" Aku ikut menjawab dengan lantang - sebagian karena kaget. Lalu menengok ke arahnya.
"Kamu nggak dengerin aku," ujarnya.
"Dengerin, Gendut. Aku dengerin kamu." Aku meyakinkannya.
"Kalau gitu, coba siapa panggilan eyangku?"
"Eyang Ot, Sayaaaang!" jawabku yakin, pasti, dan kencang. Aku tersenyum lebar. Puas bisa membuktikan ke Arya kalau aku mendengarkan.
Tapi Arya terdiam sesaat. Lalu membalas tak kalah kencang. "Utiiii! Panggilan eyangku tuh Uti! Eyang Ot itu adiknya..."
Ooops! Kupikir topiknya masih tentang Eyang Ot. Arya pun merajuk. Hihi.
Maaf, Cundut. Aku bakal mendengarkanmu lebih jeli lagi. Apalagi sekarang kamu suka kasih kuis-kuis mencongak seperti itu.
"Ini-itu-ini-itu...bla-bla-bla..."
Memang menyebalkan. Gedung itu dibangun di sisi jalan yang setiap sore sudah menimbulkan kemacetan. Apalagi bila ditambah dengan gedung tanpa tempat parkir seperti itu.
Ujung-ujungnya, Arya menyebut nama Eyang Ot yang aku agak lupa apa hubungannya. Dia baru akan mulai menceritakan kisahnya, ketika kemudian memilih menjelaskan posisi Eyang Ot dalam keluarganya terlebih dahulu padaku.
Keputusan yang tepat sebenarnya, karena ingatanku dalam sejarah agak lemah.
"Eyang Ot itu adiknya ibu dari Bapak," ujarnya tanpa melihatku karena sedang menyupir. Pandangannya terpaku ke jalan raya.
Hm-hm. Aku menimpali dengan gumaman sambil membenahi rambutku dan berkaca pada jendela mobil di sisi kiriku.
"Adiknya Uti," tambah Arya. "Eyang Ot itu bla-bla-bla-bla..." Ia mulai menjelaskan.
Aku masih sibuk dengan poniku yang mengeriting dan susah diatur karena sudah beberapa hari tidak dicatok. Berkelak-keluk seperti keris. Ah... menyebalkan. Aku jadi berpikir untuk membeli bando secepatnya.
"Sayaaaaang!" Tiba-tiba Arya memanggilku.
"Apaaaaa?" Aku ikut menjawab dengan lantang - sebagian karena kaget. Lalu menengok ke arahnya.
"Kamu nggak dengerin aku," ujarnya.
"Dengerin, Gendut. Aku dengerin kamu." Aku meyakinkannya.
"Kalau gitu, coba siapa panggilan eyangku?"
"Eyang Ot, Sayaaaang!" jawabku yakin, pasti, dan kencang. Aku tersenyum lebar. Puas bisa membuktikan ke Arya kalau aku mendengarkan.
Tapi Arya terdiam sesaat. Lalu membalas tak kalah kencang. "Utiiii! Panggilan eyangku tuh Uti! Eyang Ot itu adiknya..."
Ooops! Kupikir topiknya masih tentang Eyang Ot. Arya pun merajuk. Hihi.
Maaf, Cundut. Aku bakal mendengarkanmu lebih jeli lagi. Apalagi sekarang kamu suka kasih kuis-kuis mencongak seperti itu.
No comments:
Post a Comment