Melaksanakan pesta pernikahan di Indonesia, sesuai dengan adat umumnya di Indonesia, membuatku tidak akan terlalu banyak menuntut tentang pesta itu sendiri.
Di Indonesia - atau paling nggak di lingkunganku - sebuah pesta pernikahan lebih cocok disebut sebagai pesta orang tua mempelai. Bagaimana tidak, 80% undangan pastilah akan dipenuhi dengan nama-nama rekan, sahabat, dan kolega orang tua.
Sama seperti dalam perencanaan pesta pernikahanku. Pesta pernikahan menjadi milik semua orang.
Kalau ditanya benar-benar, pastilah aku akan lebih memilih sedikit undangan dengan kerabat dekat, di lokasi yang bukan gedung. Menurutku, pestanya bisa terasa lebih intim dan sederhana. Bukan seperti pesta yang sedang direncanakan sekarang dengan ribuan undangan - yang mungkin lebih dari separuhnya tidak aku kenal.
Tapi itu nggak akan terjadi. Aku nggak akan bisa mengubah adat pesta pernikahan itu.
Karena aku tinggal di lingkunganku, maka aku pun nggak akan banyak protes dengan kebiasaan ini. Memang, dengan konsep seperti ini, jelas dana terbesar akan datang dari orang tua mempelai. Menurutku wajar, karena dengan usia masih meniti hidup seperti ini, tak mungkinlah aku mengadakan pesta selevel orang tua kami.
Dan karena aku anak perempuan satu-satunya, dari dulu kala, aku sudah tahu bahwa pastilah ibuku akan menginginkan pesta yang sempurna untuknya. Makanya, pilihan-pilihan besar untuk pesta dari awal sudah aku kembalikan pada ibuku. Ini termasuk gedung, tema warna, dan sebagainya. Aku hanya meminta sedikit detail pesta pernikahan itu.
Kebanyakan pilihanku memang berdasarkan pada alasan logis, meski ada pula yang aku pinta karena aku memang ingin. Aku pun memilih detail-detail kecil tadi, seperti tanggal yang paling 'kosong', waktu acara, pilihan beberapa vendor, pilihan warna tema midodareni, pilihan baju resepsi dan periasnya, hingga warna pendamping warna utama dalam resepsi.
Resiko dari pilihanku tadi adalah, aku sendiri yang menanggung biayanya. Orang tuaku memang nggak memintanya, tapi menurutku seperti itu lebih adil.
Yah, meski sempat miris melihat anggaran total yang disediakan, aku nggak bisa terlalu banyak berkutik. Dengan tamu sebanyak itu, anggaran yang dibutuhkan memang segitu, bahkan mungkin lebih.
Setiap tempat memiliki adatnya sendiri-sendiri. Setiap adat memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri-sendiri juga.
Dan seperti tulisan status Facebook sahabat baikku suatu hari, ketika kita tidak bisa mengubah sesuatu, yang perlu kita ubah adalah cara pandang kita pada hal tersebut.
...kemudian mencari yang terbaik dari yang ada dan mencari solusi dari setiap masalah yang muncul... :)
Makanya, aku nggak akan menambah kerumitan perencanaan pesta pernikahan ini dengan konflik keinginan yang masih dapat ditolerir dan logis. Jadi, pesta pernikahan yang ideal menurutku adalah pesta pernikahan yang tidak membawa perpecahan dan konflik nantinya.
Di Indonesia - atau paling nggak di lingkunganku - sebuah pesta pernikahan lebih cocok disebut sebagai pesta orang tua mempelai. Bagaimana tidak, 80% undangan pastilah akan dipenuhi dengan nama-nama rekan, sahabat, dan kolega orang tua.
Sama seperti dalam perencanaan pesta pernikahanku. Pesta pernikahan menjadi milik semua orang.
Kalau ditanya benar-benar, pastilah aku akan lebih memilih sedikit undangan dengan kerabat dekat, di lokasi yang bukan gedung. Menurutku, pestanya bisa terasa lebih intim dan sederhana. Bukan seperti pesta yang sedang direncanakan sekarang dengan ribuan undangan - yang mungkin lebih dari separuhnya tidak aku kenal.
Tapi itu nggak akan terjadi. Aku nggak akan bisa mengubah adat pesta pernikahan itu.
Karena aku tinggal di lingkunganku, maka aku pun nggak akan banyak protes dengan kebiasaan ini. Memang, dengan konsep seperti ini, jelas dana terbesar akan datang dari orang tua mempelai. Menurutku wajar, karena dengan usia masih meniti hidup seperti ini, tak mungkinlah aku mengadakan pesta selevel orang tua kami.
Dan karena aku anak perempuan satu-satunya, dari dulu kala, aku sudah tahu bahwa pastilah ibuku akan menginginkan pesta yang sempurna untuknya. Makanya, pilihan-pilihan besar untuk pesta dari awal sudah aku kembalikan pada ibuku. Ini termasuk gedung, tema warna, dan sebagainya. Aku hanya meminta sedikit detail pesta pernikahan itu.
Kebanyakan pilihanku memang berdasarkan pada alasan logis, meski ada pula yang aku pinta karena aku memang ingin. Aku pun memilih detail-detail kecil tadi, seperti tanggal yang paling 'kosong', waktu acara, pilihan beberapa vendor, pilihan warna tema midodareni, pilihan baju resepsi dan periasnya, hingga warna pendamping warna utama dalam resepsi.
Resiko dari pilihanku tadi adalah, aku sendiri yang menanggung biayanya. Orang tuaku memang nggak memintanya, tapi menurutku seperti itu lebih adil.
Yah, meski sempat miris melihat anggaran total yang disediakan, aku nggak bisa terlalu banyak berkutik. Dengan tamu sebanyak itu, anggaran yang dibutuhkan memang segitu, bahkan mungkin lebih.
Setiap tempat memiliki adatnya sendiri-sendiri. Setiap adat memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri-sendiri juga.
Dan seperti tulisan status Facebook sahabat baikku suatu hari, ketika kita tidak bisa mengubah sesuatu, yang perlu kita ubah adalah cara pandang kita pada hal tersebut.
...kemudian mencari yang terbaik dari yang ada dan mencari solusi dari setiap masalah yang muncul... :)
Makanya, aku nggak akan menambah kerumitan perencanaan pesta pernikahan ini dengan konflik keinginan yang masih dapat ditolerir dan logis. Jadi, pesta pernikahan yang ideal menurutku adalah pesta pernikahan yang tidak membawa perpecahan dan konflik nantinya.
- indie -
* Foto diambil dari sini.
No comments:
Post a Comment